Kasus kematian diplomat muda Indonesia, Arya Daru Pangayunan, menyisakan banyak tanda tanya di benak publik. Dugaan bunuh diri yang diajukan pihak berwenang mendapat banyak tanggapan skeptis dari berbagai kalangan, terutama mantan Duta Besar yang meragukan keabsahannya.
Berdasarkan pendapat banyak orang, ada sejumlah kejanggalan yang menyebabkan teori bunuh diri terasa tidak masuk akal. Seorang mantan diplomat menyoroti poin-poin penting yang patut dipertimbangkan dalam menganalisis peristiwa tragis ini.
Kejanggalan Metode Kematian
Mantan Duta Besar dengan tegas menyatakan bahwa cara kematian Arya Daru sangat tidak lazim. Melakban kepala sebagai metode bunuh diri jarang terdengar. Biasanya, individu yang berencana mengakhiri hidup memilih metode yang lebih langsung dan kurang menyiksa. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai kelayakan kesimpulan yang diambil oleh pihak berwenang.
Fakta bahwa seorang diplomat yang berpendidikan dan berpengalaman seperti Arya sepantasnya tidak mengambil keputusan berbahaya seperti itu menambah keraguan. Metode kemaian yang dipilih dianggap tidak sesuai dengan karakteristik psikologis individu yang tengah bersiap untuk melanjutkan karirnya ke luar negeri. Dengan adanya penugasan ke Finlandia, harapan dan antusiasme seharusnya menjadi motivasi, bukan keputusasaan.
Psikologi Seorang Diplomat
Menarik untuk dicermati bagaimana seorang diplomat biasanya akan merasakan kegembiraan saat mendapatkan penempatan baru di luar negeri. Penugasan ini dianggap sebagai pencapaian dari karir yang telah dibangun. Psikologi positif seperti ini berafiliasi dengan rasa optimisme dan harapan untuk masa depan. Jika memang ada masalah di dalam negeri, ia seharusnya merasa akan meninggalkan beban-beban tersebut dan memulai lembaran baru.
Lebih dari itu, tidak adanya pesan perpisahan menjadi salah satu elemen yang dianggap krusial. Dalam banyak kasus, individu yang berencana mengakhiri hidup cenderung meninggalkan pesan untuk orang terkasih sebagai bentuk pengakuan atau permintaan maaf. Namun, fakta bahwa Arya tidak meninggalkan apapun untuk keluarganya semakin memperkuat asumsi bahwa ini bukanlah tindakan bunuh diri secara sukarela.
Selain itu, hilangnya ponsel juga lagi-lagi menimbulkan kejanggalan. Ponsel biasanya menjadi sarana komunikasi terakhir bagi seseorang. Seseorang yang hendak mengakhiri hidup, umumnya akan melakukan komunikasi terakhir, atau setidaknya mengecek semua hal yang ada di dalam ponsel mereka. Dengan hilangnya ponsel Arya, muncul asumsi bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang perlu diungkap.
Akhirnya, data mengenai rekaman CCTV yang tidak lengkap dan tidak adanya sidik jari orang lain di tempat kejadian memperkuat dugaan adanya tindakan yang lebih terencana. Hal ini menciptakan kesan bahwa kematian Arya Daru mungkin adalah hasil dari rencana yang lebih rumit. Semua ini menggiring kepada anggapan bahwa ada pihak lain yang mungkin terlibat dalam insiden ini.
Dari berbagai sudut pandang yang ada, kasus kematian Arya Daru Pangayunan tampaknya meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Pandangan skeptis terhadap kesimpulan bunuh diri menunjukkan pentingnya investigasi yang lebih mendalam untuk mengungkap fakta di balik peristiwa tragis ini. Semoga kejanggalan-kejanggalan yang ada dapat ditelusuri lebih lanjut agar kebenaran dapat ditemukan.