Kasus kekerasan terhadap asisten rumah tangga (ART) kembali menjadi perhatian serius, kali ini menimpa seorang perempuan muda bernama Intan (22 tahun) yang bekerja di rumah mewah di Bukit Golf Residence, Batam. Perlakuan keji yang diterimanya dari majikan membuat banyak orang berang dan menuntut keadilan.
Pihak kepolisian setempat telah bergerak cepat, menetapkan dua tersangka dalam kasus ini: R, majikan korban, dan M, rekan kerja yang ikut melakukan kekerasan atas perintah R. Apa yang terjadi dengan Intan bukanlah kasus yang terisolasi; fakta-fakta di balik kasus ini cukup mengejutkan dan mengungkapkan sisi kelam dari relasi kerja.
Kekerasan yang Berulang Kali: Luka yang Tak Terlihat
Dari penyidikan yang dilakukan, terungkap bahwa kekerasan yang dialami Intan bukan kejadian tunggal. Sejak mulai bekerja pada Juni 2024, ia telah berkali-kali dipukuli oleh majikannya, bahkan sebelum kasus terakhir yang viral di media sosial menjadi pembicaraan. Intan sering kali mendapat perlakuan kejam hanya karena kesalahan sepele, seperti lupa menutup kandang anjing, yang memicu amarah majikan dan berujung pada tindakan kekerasan.
Fakta ini menunjukkan bahwa tidak hanya fisik Intan yang terluka, tetapi mental dan emosionalnya pun tertekan. Dalam lingkungan kerja yang seharusnya memberikan rasa aman, justru terjadi penindasan yang berkepanjangan. Hal ini memberikan gambaran betapa buruknya situasi pekerja rumah tangga di Indonesia.
Keterlibatan Rekan Kerja dan Lingkungan Kerja yang Buruk
Kasus ini menjadi semakin mengenaskan dengan terlibatnya rekan kerja Intan berinisial M sebagai pelaku. M mengaku dipaksa untuk ikut memukuli Intan atas perintah R. Hal ini menunjukkan betapa sistem hierarki di tempat kerja dapat menciptakan budaya kekerasan yang merugikan banyak pihak. Meskipun tidak ada niat pribadi untuk melakukan kekerasan, tekanan dari atasan dapat membuat seseorang terjebak dalam siklus perilaku kekerasan.
Intan, yang seharusnya mendapatkan gaji penuh dan perlakuan layak, malah tidak menerima hak-haknya selama bekerja. Misalnya, gaji bulanannya yang hanya Rp1,8 juta sering kali dipotong karena alasan yang tidak jelas. Ini membawa kita pada kesimpulan penting: lingkungan kerja yang tidak mendukung dan penuh ketidakadilan akan selalu berujung pada dampak buruk bagi karyawan.
Hak Dasar Korban diabaikan: Perlakuan Merendahkan
Dalam satu momen yang sangat memalukan, Intan mengaku pernah disuruh untuk memakan kotoran hewan oleh majikannya. Tindakan ini bukan hanya mencerminkan penganiayaan fisik, tetapi juga pelecehan yang sangat merendahkan martabat manusia. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat masalah mendasar dalam perlindungan hak asasi manusia, khususnya dalam sektor pekerjaan informal.
Status sebagai ART sering membuat perempuan kehilangan suara dan kekuatan untuk melindungi diri mereka sendiri. Luka fisik yang dialami Intan menjadi simbol dari ketidakadilan yang selama ini dialami oleh banyak pekerja rumah tangga di tanah air.
Bukti Kekerasan dan Proses Hukum yang Mengikuti
Kondisi Intan saat ini sangat memprihatinkan. Ia sedang menjalani perawatan intensif di rumah sakit dengan luka berat akibat penganiayaan yang dilakukan selama ini. Pihak kepolisian juga telah mengumpulkan bukti dari peristiwa tersebut, termasuk barang-barang yang digunakan untuk menyiksa korban. Contoh barang bukti yang disita antara lain raket nyamuk listrik, ember plastik, dan kursi lipat plastik, semua berfungsi sebagai alat penyiksaan yang seharusnya tidak ada dalam rumah yang menjadi tempat bekerja.
Dengan ancaman hukum yang dihadapi, yakni 10 tahun penjara dan denda, bisa jadi ada keadilan di ujung jalan. Namun, kerugian bagi Intan tidak akan terbayarkan dengan hukuman tersebut. Tahun-tahun berharga yang hilang dari hidupnya dan bekas trauma yang mungkin akan mengganggu kehidupannya selamanya, sangat sulit untuk dihapuskan.
Keseluruhan kasus ini memperlihatkan bahwa sudah saatnya masyarakat lebih peduli terhadap perlindungan hak-hak pekerja, terutama sebagai asisten rumah tangga. Tanpa adanya perubahan sistemik, kasus seperti ini hanya akan terus terulang, dan korban akan selalu membutuhkan suara yang bisa berbicara untuk mereka.