Ketua Dewan Pakar Asprindo, Didin Damanhuri, mengungkapkan bahwa kondisi perekonomian Indonesia saat ini berada dalam keadaan yang cukup memprihatinkan. Hal ini tidak hanya terjadi di tanah air, tetapi juga menjadi masalah global, yang dipicu oleh berbagai isu seperti ketegangan geopolitik dan kebijakan tarif di negara lain.
Di tengah tantangan ini, Didin mencatat bahwa banyak negara yang dulunya sebanding dengan Indonesia pada tahun 1970-an, seperti Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand, kini sudah jauh melampaui kita. PDB per kapita Korea Selatan saat ini mencapai Rp 30 ribu, sedangkan Indonesia masih stagnan di angka Rp 5 ribu. Meskipun PDB per kapita bukan satu-satunya indikator kesejahteraan, hal ini tetap menjadi sinyal awal tentang kemajuan ekonomi suatu bangsa.
Kesempatan dan Tantangan Ekonomi Indonesia
Untuk memahami lebih dalam tentang tantangan yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia, kita perlu melihat lebih jauh dari aspek PDB. Didin menyoroti tentang Gini Ratio dan indeks oligarki yang menunjukkan adanya ketimpangan yang tajam di dalam masyarakat. Saat ini, kondisi sosial yang ada menunjukkan bahwa lapisan masyarakat kelas bawah semakin terpinggirkan, sementara kelompok oligarki semakin kuat. Dalam konteks ini, kita perlu mempertimbangkan dampak dari ketimpangan ekonomi dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Data menunjukkan bahwa pada tahun 2014, indeks oligarki Indonesia berada di peringkat kedua terburuk di dunia. Situasi ini tidak hanya stabil, tetapi mungkin telah memburuk seiring berjalannya waktu. Stratifikasi kekayaan di Indonesia sangat mencolok, di mana 40 orang terkaya memiliki kekayaan yang berjumlah 1.056.000 kali lipat dari GDP rata-rata per kapita penduduk Indonesia. Angka ini sangat mengejutkan jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti Amerika Serikat, di mana perbandingannya hanya 20.000 kali lipat.
Menanggapi Tantangan dan Membangun Masa Depan yang Lebih Baik
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca-reformasi rata-rata berada di angka 5 persen. Namun, sebuah pertanyaan penting muncul: siapa yang sebenarnya mendapatkan manfaat dari pertumbuhan tersebut? Menurut Didin, sebagian besar keuntungan dari pertumbuhan ini hanya dinikmati oleh segelintir orang yang bisa kita sebut sebagai oligarki. Hal ini terlihat jelas pada data dari Credit Suisse, yang menyebutkan bahwa kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia setara dengan 100 juta orang lainnya.
Dengan latar belakang tersebut, kita perlu mendiskusikan potensi strategi yang bisa diambil untuk mengubah keadaan. Salah satu langkah yang paling mendasar adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas bawah melalui akses yang lebih baik terhadap sumber daya ekonomi. Apakah kita sudah melakukan yang cukup untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat dapat merasakan kesejahteraan yang adil dan merata? Jika tidak, apa langkah konkret yang harus diambil untuk mencapai keseimbangan tersebut?
Kita juga bisa berkaca pada kebijakan swasembada pangan yang pernah diterapkan pada era Soeharto, di mana ketepatan dalam menjaga harga sembako sangat penting bagi masyarakat. Saat ini, dengan maraknya pasar tradisional yang sepi, kita dapat melihat bahwa daya beli masyarakat kelas bawah mengalami penurunan yang signifikan. Jika kita terus mengabaikan kenyataan ini, dampaknya akan semakin parah.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi semua pihak—baik pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta—untuk bersatu dan bekerja sama dalam menciptakan sistem yang lebih adil. Hanya dengan cara ini, kita dapat mengubah statistik yang mencolok dan mewujudkan harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia.