Pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh beberapa Sekolah Dasar Negeri di Pacitan dengan modus meminta orang tua membeli baju seragam sekolah semakin meresahkan. Hal ini terjadi menjelang musim penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2025/2026, ketika beberapa sekolah justru lebih memilih mencari keuntungan daripada memberikan pendidikan yang layak.
Salah satu contoh nyata terjadi di SD Negeri 2 Baleharjo, dimana sekolah ini ditengarai melakukan pungutan dengan alasan menjual seragam dan atribut sekolah kepada orang tua calon murid. Kondisi ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar tentang transparansi dan etika di dunia pendidikan.
Pungutan Sekolah yang Membebani Orang Tua
Di SD Negeri 2 Baleharjo, biaya untuk seragam saja dibanderol dengan harga yang cukup tinggi. Misalnya, seragam biasa mencapai Rp. 905.000,00, sedangkan untuk seragam muslim PA dan PI masing-masing dikenakan biaya Rp. 985.000,00 dan Rp. 1.125.000,00. Situasi ini sudah pasti membebani orang tua yang harus rela mengeluarkan uang dalam jumlah besar hanya untuk memenuhi persyaratan daftar ulang.
Salah satu orang tua calon peserta didik, yang hanya ingin disebut “ST”, menyatakan sangat menyesal dan merasa tertekan dengan kondisi ini. Ia menjelaskan bahwa meskipun sudah membayar, ia tidak menerima kwitansi, dan seragamnya pun belum diterima hingga saat ini. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan mengganggu kenyamanan orang tua dalam menjalani proses pendidikan anak-anak mereka.
Larangan Penjualan Seragam oleh Sekolah
Pihak berwenang telah mengingatkan bahwa larangan menjual seragam sekolah adalah suatu keharusan. Sekolah tidak diperkenankan untuk mewajibkan atau membebani orang tua atau wali siswa membeli seragam baru setiap kali ada penerimaan siswa baru atau kenaikan kelas. Aturan ini jelas tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Wahyono, Kepala Bidang Pembinaan SD Dinas Pendidikan Pacitan, menegaskan larangan tersebut. Ia mengatakan bahwa setiap pendidik dan tenaga kependidikan dilarang untuk terlibat dalam penjualan seragam atau bahan seragam. Indikasi pungutan liar yang berkedok pembelian seragam sekolah sangat jelas tidak dibenarkan. Pengadaan pakaian seragam sekolah seharusnya bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga melibatkan masyarakat dan pemerintah.
Selain itu, seharusnya sekolah berperan dalam membantu pengadaan seragam, terutama bagi siswa yang kurang mampu. Dalam peraturan yang ada, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dapat bekerja sama untuk memfasilitasi kebutuhan siswa dengan memprioritaskan mereka yang membutuhkan.
Dalam hal ini, peran sekolah seharusnya lebih kepada membantu, bukan memungut biaya yang dapat memberatkan orang tua. Dugaan pungli ini tidak hanya terjadi di satu sekolah, tetapi juga meluas ke berbagai Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di sejumlah kecamatan di Pacitan.
Sebuah studi kasus di SD Pacitan menunjukkan bahwa orang tua lain juga mengalami hal serupa. Salah satu orang tua bernama Marlina melaporkan bahwa mereka diminta membayar Rp. 875.000,00 sebagai syarat untuk daftar ulang, disertai dengan kwitansi sebagai bukti. Hal ini semakin menunjukkan bahwa ada praktek tidak transparan yang terjadi dalam pengelolaan pendidikan.
Untuk menanggapi hal ini, pihak sekolah harus segera mengatasi akar permasalahan. Diperlukan pendekatan yang lebih humanis dan kolaboratif antara sekolah, orang tua, dan pemerintah untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih baik. Dengan memahami kondisi orang tua dan siswa, institusi pendidikan diharapkan dapat menghentikan praktek-praktek yang merugikan.