Kasus dugaan penganiayaan yang berujung pada kematian bayi berusia dua bulan kini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Kota Semarang. Terdakwa, seorang anggota kepolisian, menghadapi dakwaan yang serius akibat tindakan yang dapat merenggut nyawa anaknya sendiri.
Peristiwa ini bermula dari sebuah hubungan asmara yang tidak biasa, di mana terdakwa berpacaran dengan ibu korban. Seiring berjalannya waktu, hubungan tersebut menghasilkan seorang bayi, namun berujung pada tragedi yang tak terduga.
Dinamika Relasi dan Pelanggaran Hukum yang Terjadi
Hubungan antara terdakwa dan ibu korban dimulai pada tahun 2023, di mana mereka tinggal bersama di sebuah rumah kontrakan. Seiring dengan pertumbuhan cinta, pasangan ini harus menghadapi tanggung jawab baru setelah kelahiran seorang bayi yang mereka beri nama NA.
Terdapat fakta menarik bahwa keduanya melakukan tes DNA untuk membuktikan hubungan darah, yang akhirnya mengkonfirmasi bahwa NA adalah anak kandung terdakwa. Namun, saat ibu korban meminta pertanggungjawaban penuh dengan harapan dilangsungkannya pernikahan, terdakwa menolak, hanya bersedia untuk memberikan uang demi merawat bayi tersebut. Keputusan ini menunjukkan betapa rumitnya dinamika hubungan mereka dan bagaimana hal itu berujung pada tindakan kasar.
Penyelidikan dan Proses Hukum yang Mengikutinya
Berawal dari rasa sakit hati dan konflik emosional, terdakwa mulai melakukan tindakan kekerasan terhadap bayi NA. Penganiayaan pertama terjadi saat Maret 2025, di mana terdakwa mencekik bagian belakang tubuh bayi hingga membuatnya menangis. Ketika situasi semakin memanas, penganiayaan berlanjut dengan cara menekan bagian dahi korban di dalam mobil. Bayi yang tidak sadarkan diri akhirnya dilarikan ke rumah sakit, tetapi sayangnya kehilangan nyawanya.
Selama penyelidikan, otopsi mengungkap bahwa kematian bayi disebabkan oleh kekerasan tumpul pada kepala, bukan karena faktor lain seperti tersedak susu. Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan anak di hadapan hukum dan urgensi tindakan tegas terhadap pelanggaran hak yang dialami oleh mereka yang paling rentan.
Kematian tragis bayi NA dapat menjadi pengingat bagi masyarakat mengenai dampak serius dari penganiayaan. Tindak pidana yang dilakukan dapat dijerat berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak serta Pasal terkait dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Keputusan hakim untuk memberi kesempatan kepada terdakwa untuk menyampaikan eksepsi juga menunjukkan bahwa proses hukum harus dilalui dengan berlandaskan pada keadilan yang seimbang.