Dinamika atmosfer yang tidak lazim telah mengubah pola musim kemarau di Indonesia, dengan beberapa wilayah bahkan mengalami cuaca ekstrem. Hal ini sangat berbeda dari yang biasanya kita amati setiap tahunnya.
Saat banyak yang mengharapkan kondisi cuaca kembali normal, fakta menunjukkan bahwa baru sekitar 30 persen dari wilayah zona musim yang mulai beralih ke musim kemarau hingga akhir Juni. Padahal secara iklim, seharusnya angka tersebut sudah mendekati 64 persen.
Fenomena Cuaca dan Dampaknya
Kemunduran musim kemarau tahun ini diakibatkan oleh lemahnya Monsun Australia dan tingginya suhu permukaan laut di selatan Indonesia. Hal ini berkontribusi pada tingginya kelembapan udara, yang pada gilirannya menyebabkan hujan meskipun seharusnya berada di musim kering.
Sebagai contoh, fenomena aktif seperti Madden-Julian Oscillation (MJO) dan gelombang ekuator (Kelvin dan Rossby Equator) semakin mendukung pembentukan awan konvektif, yang membuat potensi terjadinya hujan lebat menjadi lebih tinggi. Dinamika ini pun membawa dampak yang sangat signifikan terhadap aktivitas masyarakat, seperti bencana banjir dan longsor yang terjadi di beberapa daerah.
Perkiraan Cuaca dan Pengantisipasian
Curah hujan di atas normal telah menjadi kenyataan di banyak daerah sejak bulan Mei, dengan prediksi bahwa kondisi ini akan berlanjut hingga Oktober tahun ini. Masih banyak yang perlu diperhatikan, karena dampaknya sudah mulai berasa. Hujan ekstrem yang terjadi baru-baru ini contoh nyata dari situasi ini.
Berdasarkan analisis terbaru, wilayah yang kemungkinan besar akan mengalami hujan lebat meliputi Jawa bagian barat dan tengah, Kalimantan Timur, dan beberapa daerah di Papua. Penting untuk siap siaga dan menyusun strategi untuk mengatasi potensi bencana agar aktivitas masyarakat tidak terganggu.